Tangerangkini.com, Jakarta – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bakal disahkan dalam rapat paripurna DPR yang digelar hari ini, Selasa, 6 Desember 2022. Kendati demikian, kelompok masyarakat sipil menilai RKUHP masih mengandung sejumlah pasal bermasalah.
Kemarin, Aliansi Nasional Reformasi KUHP
menggelar aksi penolakan pengesahan RKUHP di depan Gedung DPR. Mereka menabur bunga dan membakar kitab TKUHP sebagai tanda atas kematian demokrasi di Indonesia. Musababnya, RKUHP dibuat dengan tidak partisipatif, mengandung pasal antidemokrasi, melanggengkan korupsi, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, serta memiskinkan rakyat.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana menjelaskan secara rinci poin-poin dari draf terbaru RKUHP versi 30 November 2022 yang masih mengantongi catatan, yaitu:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
1. Pasal 240 – Penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara
Dalam pasal ini, penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara dilebur menjadi satu pasal dan menjadi delik aduan secara terbatas, yaitu untuk penghinaan yang tidak mengakibatkan kerusuhan.
Menurut Arif, pasal tersebut tidak sejalan dengan cita-cita demokrasi. Pasalnya, perbuatan “penghinaan” tidak perlu dipidana karena akan selalu sulit dibedakan dengan kritik. “Sedari awal kami menyuarakan untuk penghapusan pasal ini, jika yang dilindungi adalah mencegah kerusuhan, pasal-pasal lain tetap dapat digunakan,” ujar Arif ketika dihubungi oleh Tempo pada Senin, 5 Desember 2022.
Menurut dia, pasal tersebut mesti dihapus karena pemerintah dan lembaga negara adalah objek kritik yang tidak dapat dilindungi dengan pasal pembatasan. Apalagi, kata dia, ini untuk institusi yang tak memiliki reputasi secara personal. “Pasal penghinaan hanya untuk melindungi orang, bukan institusi,” kata dia.
2. Pasal 81 – Pidana denda
Pasal ini mengatur jika pidana denda tidak dibayarkan, kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar. Jika setelah penyitaan dan pelelangan pidana denda masih tidak terpenuhi, maka sisa denda dapat diganti dengan pidana penjara, pidana pengawasan, atau pidana kerja sosial.
Poin permasalahan dalam pasal tersebut adalah pidana denda tidak dimaksudkan untuk memperoleh pendapatan negara. Menurut Arif, hal tersebut akan membawa masalah sosial, karena orang yang dijatuhi pidana denda akan diincar harta bendanya, termasuk orang miskin.
Pun jika tidak cukup, orang tersebut masih harus mengganti dengan pidana penjara, dan pidana lainnya. “Jika ingin mengefektifkan pidana denda, maka yang harus dilakukan adalah mengatur denda yang proporsional, bukan memberlakukan penyitaan aset,” kata dia.
3. Pasal 100 – Pidana mati
Rapat pembahasan RKUHP oleh pemerintah dan DPR pada 24 November 2022 lalu menyepakati bahwa pemberian masa percobaan 10 tahun sebagai penundaan eksekusi pidana mati HARUS diberikan secara otomatis dan pada seluruh terpidana tanpa terkecuali.
Dengan demikian, tidak perlu ada lagi pengaturan tentang hal-hal yang dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan masa percobaan 10 tahun tersebut,mengingat harus diberikan secara otomatis.
Namun, kata Arif, dalam Pasal 100 ayat (1) poin a dan b masih dimuat komponen pertimbangan hakim tersebut. “Sedari awal pidana mati harus dihapuskan karena tidak lagi sesuai dengan negara demokratis. Pun juga soal masa percobaan yang seharusnya diberikan secara otomatis harus dijamin, tidak hanya jargon,” kata dia.
4. Pasal 256 – Unjuk rasa
Pasal 256 tentang larangan unjuk rasa tanpa pemberitahuan yang mengakibatkan terganggunya pelayanan publik dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 10 juta.
Dalam hal ini, Arif menyebut perlu ditekankan bahwa pemberitahuan ke aparat bukanlah izin. Pengaturan ini sudah dimuat dalam UU 9/1998, bahwa unjuk rasa digelar hanya dengan pemberitahuan.
Kendati demikian, Arif mengatakan pasal ini bermasalah. “Pasal ini jauh lebih kolonial dari hukum buatan kolonial, asal pasal ini dari Pasal 510 KUHP yang ancaman pidananya hanya pidana penjara 2 minggu, sedangkan dalam Pasal 256 RKUHP menjadi 6 bulan pidana penjara,” kata dia.
5. Pasal 188 – Penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau Paham Lain yang bertentangan dengan Pancasila
Dalam rapat pembahasan RKUHP oleh pemerintah dan DPR pada 24 November 2022 lalu, tidak ada sama sekali pembahasan mengenai perubahan Pasal 188 tentang larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme.(Haris/red)